Bapak Uskup Sensi

St. Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko

“Aii, Nani, selamat sore!” Sapanya tiba-tiba, di kamar makan Seminari.

“Aduh, kae baru tiba dari Ende?”

“Iya, mari kita duduk-duduk minum kopi dulu.”

Sepenggal percakapan ini tiba-tiba menyeruak kembali dalam ingatan saya, begitu mendengar berita kepergian Mgr. Vinsen Sensi Potokota, kemarin.

Saat itu saya galau sekali. Saya berada pada masa-masa sangat down dalam rentang pengabdian saya di Seminari. Seperti biasa, orang pertama tempat saya mencurahkan isi hati adalah teman kelas saya, Rm. Beny Lalo, Pr.

Saya heran, Beny tidak mengeluarkan satu kata pun. Ternyata diam-diam, dia menelpon Romo Sensi, Direktur Puspas saat itu.

Saya kaget luar biasa, saat dia membuka pintu kamar makan, dan mengajak saya minum, seakan dia tuan rumahnya.

Sore itu dia kembali ke Ende, dan saya meneguhkan kembali komitmen untuk sepenuh hati bekerja di Seminari sampai Bapak Uskup sendiri menarik saya keluar dari lembaga yang saya cintai ini, untuk berkarya di tempat lain.

Dari antara sekian banyak jejak pengalaman bersama Mgr. Sensi, saya (dan saya yakin banyak teman lain) merasakan Bapak Uskup itu sahabat seperjalanan, kakak dalam panggilan, dan bapak yang amat meneguhkan.

Satu waktu kami diminta membuat analisa keadaan riil Seminari. Hasilnya, kami tulis dalam laporan cukup tebal, dan memberikannya pada Bapak Uskup, saat beliau berkunjung ke Seminari.

Keesokan harinya, kami, para imam yang bekerja di Seminari, berkumpul di English Room. “Semalam saya sudah baca laporan kamu, dan terus-terang, saya tidak bisa tidur.” Saya ingat kata-katanya ini saat membuka pertemuan.

Kami merasa Bapak Uskup hadir dalam suka dan duka, dalam ups and downs perjalanan Seminari ini. Kualitas kehadiran ini sudah terasa amat menguatkan.

Hari berikutnya, Bapak Uskup bertemu dengan para guru dan pegawai seluruhnya, di pendopo SMA. “Beliau ini benar-benar bapa untuk kita ko.” Itu kurang lebih kata-kata Bapak Mikhael Remi, guru senior Seminari saat itu, dan guru dari Bapak Uskup Sensi, saat beliau menjalani pendidikannya di Seminari.

Kami mengikuti perjuangan Bapak Uskup di saat-saat beliau menanggung derita. Kami berusaha mendapatkan berita, sekecil apa pun, sesederhana apa pun mengenai beliau. “Bapatua bagaimana sudah ko?”

Kalau ada jawaban, biar sedikit, tentang Bapak Uskup, kami merasa diteguhkan. “Ah, bapatua masih sehat”.

Bulan September 2023 lalu, kami gembira sekali. Bapak Uskup tinggal bersama kami di Seminari lebih dari satu minggu. Dia mengikuti serangkaian kegiatan UNIO Indonesia. Dia memimpin dan menutup dengan Perayaan Ekaristi. Dia ambil bagian dalam Pesta Perak Imamat P. Asno Remi, SVD, dan Rm. Norbert Labu, Pr.

Setiap kali ke Unit C, kompleks khusus untuk para Romo di Seminari, kami menoleh ke kamar Bapak Uskup. Kami menemaninya berjalan ke kamar makan. Kami berbagi cerita bersama di kamar makan.

Kami berusaha memastikan, Bapak Uskup aman. Dalam hati kecil, kami cemas: jangan-jangan ada yang kurang, yang Bapak Uskup butuhkan, karena kesehatannya, yang tidak mungkin terlayani di Seminari.

Kami hanya bisa saling berbisik, ketika mendapat berita, beliau terbang ke Jakarta, untuk berobat.

Bapak Uskup, engkau sudah menjadi sahabat, kakak, bapak, dan gembala bagi kami semua dengan begitu rendah hati.

Engkau mempersembahkan deritamu untuk kami juga. Engkau menjalani puasa yang banyak penderitaannya tidak kami rasakan dan ketahui. Semoga engkau menikmati Paskah Abadi bersama Gembala Agung kita.

Requiescat in Pace.(Nani Songkares)