Lokakarya Guru Bahasa Inggris:
PEMBELAJARAN EFEKTIF PASCA PANDEMI
Flores-Lembata English Teachers Association (FLORETA), menyelenggarakan lokakarya untuk para guru Bahasa Inggris se-daratan Flores-Lembata di bawah bimbingan Dr. Itje Chodidjah, MA, Rabu-Sabtu (5-8 Oktober 2022).
Banyak sekali hal yang menarik ditimba dari lokakarya tersebut. Pada sesi pembuka, Star Picture, peserta menikmati hal-hal berikut ini.
Pertama, modelling pembelajaran yang istimewa – masuk kelas dengan keyakinan setiap tutur kata, intonasi, gesture, facial expression, movement, greetings, smiling itu bermakna motivating atau demotivating;
Kedua, Tujuan pembelajaran yang jelas membuat seluruh proses pembelajaran terarah: waktu terisi efektif, activities (berupa materials and delivery) terasa mempunyai roh; adaptability mendapat ruang yang besar (kita tahu bahwa pedagogi itu pertama, teknologi sesudahnya, saat teknologi tidak sepenuhnya tersedia sesuai harapan, pembelajaran tetap berjalan karena pedagoginya kuat), classroom language dengan instruksi yang sederhana dan jelas serta kepastian bahwa semua siswa terlibat mendapat tempatnya;
Ketiga, Atmosfir positif yang membuat semua siswa nyaman berkomunikasi dan bereksperimen dengan bahasa. Sesi pembuka ini ditutup dengan refleksi, “How did I teach before the abolition of the National Exam and the Outbreak of Covid-19 Pandemic” – refleksi yang menuntut guru masuk ke dalam dirinya, membongkar dengan jujur dan sukacita kesalahan-kesalahannya tapi tetap penuh harapan akan transformasi ke depan.
Indah sekali mengalami secara bersama bagaimana para guru menertawakan dirinya sendiri: kesalahannya, kebodohannya, ketidakmatangan dirinya, tapi pada saat yang sama menatap ke depan dengan optimisme yang besar.
Test-Taking
Sesi berikutnya yang tidak kalah menarik adalah test taking: guru dituntut untuk membantu menumbuhkembangkan keterampilan bahasa siswa sampai pada level tertentu (misalnya untuk SMA, minimal siswa mencapai level B1 seturut standar Common European Framework of Reference for Languages (CEFR). Pertanyaannya adalah seberapa jauh level bahasa Inggris saya sebagai guru?
Test ini sangat membantu guru melihat, berdasarkan data yang valid, kemampuan berbahasanya. Ini langka sekali, once in a blue moon. Kita mendapatkan cermin untuk melihat diri kita sendiri.
Sebuah pertanyaan yang menggugat adalah, kalau level bahasa Inggris saya di bawah B1, bagaimana mungkin saya bisa efektif menuntun siswa saya mencapai minimal B1? Ini sebuah dorongan luar biasa bagi guru untuk terus memacu diri.
Sharing yang dipandu Ibu Roni Bata dari Ende, dan Ibu Debby Haning dari Maumere memberikan penguatan-penguatan istimewa yang menuntut guru terus belajar. Kompetensi linguistik itu keharusan, tapi yang tidak kalah penting, adalah kompetensi pedagogisnya.
Refleksi yang berkenaan dengan test taking dan CEFR adalah menu berikutnya. Saya amat terkesan dengan pertanyaan menantang ini, “Apa yang perlu saya lakukan bagi diri saya sendiri” dan “Apa yang perlu saya lakukan di dalam kelas?”
Banyak hal dicatat di sini. Masing-masing guru menuliskan inventori kebutuhan dan aktivitas yang harus dia lakukan untuk pengembangan dirinya dan perbaikan atau transformasi proses pembelajaran di ruang kelas.
Pembelajaran Efektif pasca Pandemi
Sesi berikutnya yang tidak kalah menarik adalah bagaimana mendesain proses pembelajaran yang efektif pasca pandemi, dan pasca Ujian Nasional.
Harus ada transformasi dalam proses pembelajaran. Itu imperatif kunci. Teknologi berkembang tanpa batas dengan kecepatan yang tak pernah terbayangkan. Sementara itu siswa kita sendiri, yang merupakan generasi Z dan A, dengan karakteristik yang sangat berbeda, menghadapi tuntutan-tuntutan baru dalam kehidupan mereka.
Tugas guru adalah menyiapkan mereka menghadapi berbagai perubahan dan kebaruan itu. Dan itu terjadi di ruang-ruang kelas. Karena itu transformasi di dalam ruang-ruang kelas sudah menjadi tuntutan kehidupan.
Beberapa hal mau tidak mau harus menjadi bagian dari keterampilan pedagogis para guru. Misalnya, para guru harus mempunyai tujuan pembelajaran yang jelas, berdasarkan prinsip-prinsip pengembangan tujuan pembelajaran yang dapat dipertanggungjawabkan. Kegiatan pembelajaran dirancang sekian sehingga semua siswa terlibat aktif menuju pencapaian kompetensi tertentu yang menjadi tujuan pembelajaran. Pastikan semua siswa termotivasi dan menikmati berbagai aktivitas yang membelajarkan siswa. Mampukan mereka berekspresi, beranikan mereka bertanya. Jadi, pembelajaran bukan ‘kejar materi’. Para siswa diajak untuk memandang sesuatu dari berbagai perspektif. Gunakan differentiated instruction agar semua siswa terlayani. Dan, yang tidak kalah penting adalah, sediakan kesempatan bagi siswa untuk melakukan refleksi diri, dengan pertanyaan-pertanyaan yang memancing siswa menemukan apa yang dia pelajari untuk kehidupannya. Tentu, keterampilan bertanya seorang guru harus terus diasah.
Pendek kata, “Tugas seorang guru,” kata Carl Rogers, “bukanlah mengajar, tapi membuat siswa bertanggungjawab atas pembelajarannya”.
Daya Transformatif Refleksi
Tentang refleksi, para guru mendapatkan pengalaman yang amat berkesan pada Hari ke-2. Dengan menggunakan model refleksi 4 F yang dikembangkan Roger Greenaway (facts – peristiwa, feelings – perasaan, findings – pembelajaran, future – penerapan di masa depan), Ibu Itje mengajak para guru membuat refleksi mengenai berbagai hal yang telah dialami dan dipelajari sejak awal kegiatan lokakarya ini.
Aktivitas refleksi ini tidak hanya menyadarkan para guru tentang pentingnya refleksi, tapi membuat para guru mengalami sendiri dan merasakan indahnya dan besarnya manfaat refleksi itu bagi kehidupan. Banyak sekali ungkapan perasaan yang mendalam, penemuan-penemuan diri yang menghentak, dan rencana tindakan yang memberdayakan. Ada proses internalisasi yang kuat sekali. Proses refleksi seperti ini membuat seluruh kegiatan lokakarya menjadi milik guru itu sendiri, menjadi kekuatan dari dalam yang mengubah dirinya. Saya membayangkan, seandainya proses refleksi ini menjadi kebiasaan yang dilakukan guru dari waktu ke waktu,dan ditularkan kepada siswa, betapa besar daya transformasinya! Rasanya, refleksi adalah sebuah kekuatan bagi character building. Dan untuk konteks Indonesia, ini proses yang menjadikan Pancasila dengan nilai-nilainya yang istimewa, sesuatu yang mempribadi dan membudaya.
Growth Mindset
Sesi berikutnya yang menarik adalah adalah pembahasan tentang Growth Mindset. Yang bagi saya sangat menggugah dalam pembahasan ini dalah keyakinan bahwa kita semua, siapa pun bisa berkembang. “Otak dan bakat hanyalah titik awal,” kata Ibu Itje. Perkembangannya itu dapat dilakukan sepanjang hayat, dalam usia apa pun, dan itu diperoleh melalui pembelajaran. Growth mindset memacu siapa saja untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat.
Guru diharapkan mengembangkan pedagogi growth mindset. Banyak sekali cara untuk mengembangkannya. Namun, kalau guru itu sendiri tidak menghayati growth mindset dia tidak mungkin membantu siswa mengembangkannya. Kalau dia sendiri tidak percaya akan pengembangan dirinya, tidak punya mimpi, tidak punya gairah, dan ketekunan untuk pengembangan dirinya, dia tidak punya kekuatan untuk menjalarkan growth mindset kepada para siswanya. Dia bahkan bisa menjadi penyumbat yang menghalangi pertumbuhkembangan siswa. Namun, kalau dia sendiri terus menunjukkan kegairahan untuk berkembang, tak takut menghadapi tantangan, melihat kegagalan dan kesalahan sebagai sumber daya pengembangan dirinya, bertahan, berhasil, dan menginspirasi walaupun berada di tengah kesulitan, dia menyulut api pembelajaran yang luar biasa bagi para siswanya. Itulah daya tumbuh growth mindset yang dihayati seorang guru.
Mengapa ada orang yang begitu cepat menyerah walaupun tantangannya tidak seberapa, sementara itu ada orang yang tekun berusaha dari waktu ke waktu, siap berlari maraton untuk menggapai apa yang dicita-citakannya? Jawabannya ada pada keyakinan dirinya: apakah dia merasa sudah tidak bisa apa-apa, sudah fixed, terpenjara dalam “Tyranny of now” (sudah begini, mau apa lagi) atau apakah dia memiliki keyakinan dan harapan yang begitu membara bahwa dia bisa berkembang.
Growth mindset, karena itu membentuk resiliensi yang kokoh. Kata Ibu Itje, resiliensi itu “Siap mental untuk měntal”. Resiliensi itu kemampuan untuk tahan banting, kemampuan untuk bisa bangun seribu satu kali walaupun ada kegagalan seribu kali. Resiliensi itu kemampuan beradaptasi yang positif dalam menghadapi kesulitan. Resiliensi itu ketekunan yang konsisten.
Di tangan guru di ruangan kelas, growth mindset itu diberdayakan, atau diperlemah. Betapa besar panggilan seorang guru.
Kurikulum Merdeka?
Ibu Itje menegaskan, semua hal positif yang kita pelajari bersama, termasuk hal-hal yang dicatat di atas, sama sekali bukan milik eksklusif kurikulum merdeka. Semua itu harus dilakukan guru karena memang kehidupan menuntut model pembelajaran demikian. Apabila guru tidak melakukan transformasi dirinya dan transformasi model pembelajaran di kelas, maka seluruh proses pembelajaran, apa pun nama kurikulumnya, itu sampah.Karena tidak terasa relevan. Apalagi untuk anak-anak generasi Z dan A.
Differentiated instruction, misalnya, sudah lama didengungkan dalam dunia pendidikan, bukan karena kurikulum merdeka, tapi karena tuntutan kehidupan. Keterampilan mendesain pembelajaran yang efektif misalnya, dikembangkan bukan karena tuntutan kurikulum baru, tapi karena kehidupan, apalagi kehidupan para siswa, menuntut guru untuk terus mengasah keterampilan tersebut agar bisa membantu membelajarkan siswa secara efektif.
Guru memang diberi kebebasan untuk mendesain pembelajarannya, sesuai dengan visi-misi sekolah dan situasi yang dihadapi. Pertanyaannya, apakah guru sudah menikmati kebebasan itu atau masih tergantung pada orang lain karena telah cukup lama apa yang menjadi tanggung jawab guru dilakukan oleh orang lain?
Saat ini, di bawah kepemimpinan Nadiem Makarim, seorang dengan passion dan keahlian di bidang IT yang sangat kokoh, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi telah meluncurkan website yang sangat istimewa, yang dikagumi negara-negara lain. Dengan berselancar di dalam Merdeka Belajar dan Merdeka Mengajar guru mendapatkan berbagai informasi, panduan, dan model-model inspiratif bagi pengembangan pembelajaran. Sesuatu yang tidak pernah terjadi dalam periode-periode sebelumnya.
Saya tercengang dan tertunduk malu karena ternyata website seperti ini belum saya dalami sama sekali. “Apakah para guru itu literate?” tantang Ibu Itje. Kami diberi kesempatan untuk berselancar, sampai kami akhirnya berlabuh pada file tentang Capaian Pembelajaran (CP) Bahasa Inggris.
Dari situ para guru dituntun, dalam kelompok kecil, dengan bantuan teman-teman yang sudah pernah mendalami Kurikulum Merdeka untuk melihat CP, elemen-elemen pembelajaran, menginventaris kata-kata kerja dalam CP dan elemen, menyusun sendiri Tujuan Pembelajaran (TP), melihat Alur Tujuan Pembelajaran.
Setelah bergumul di dalam kelompok, Ibu Itje menuntun para guru melihat alur keseluruhan desain pembelajaran, mulai dari CP, menuju TP, mengalir ke dalam ATP, lalu bermuara pada RPP atau RPP plus, karena sekaligus berisikan modul pembelajaran.
Dengan penggambaran yang gamblang seperti ini, dua hal mendapat konfirmasi. Pertama, para guru sebenarnya memiliki kemampuan membuat desain pembelajarannya sendiri. Asal ada kemauan dan usaha. Sudah tidak zamannya lagi melakukan salin-tempel (copy-paste). Itu salah satu bentuk Merdeka Mengajar. Kedua, desain pembelajaran pasti akan berbeda-beda, karena kurikulum ini mengakomodasi keberbedaan, memberi kebebasan bagi guru memasukkan unsur-unsur (dalam TP, ATP, RPP) yang khas, sesuai visi dan misi sekolah dan kondisi riil yang dihadapi. Proses asesmen juga akan berbeda-beda. Karena itu bukan zamannya lagi menyeragamkan, apalagi menyusun soal bersama.
Ekosistem Pembelajaran
It takes two to tango – itu kata pepatah. Kalau Anda mau menari tango Anda tidak bisa menari sendiri. Anda butuh teman. Anda butuh kolaborasi. Anda butuh ekosistem. Anda butuh lingkungan, atmosfir yang hidup dan menghidupkan, di mana setiap unsur bekerja maksimal tapi saling terkait, saling mendorong, saling mendukung. Anda butuh relasi yang menghidupkan.
Ini yang menjadi harapan besar ke depan kalau kita ingin transformasi pendidikan berjalan. We are on the right track. Kita menciptakan ekosistem. Dengan satu saja even tahunan FLORETA, gaungnya terasa di ruang-ruang kelas. Kita menjadi the ripple of change.
Bayangkan saja, kalau ini dilakukan bersama-sama, dengan teman-teman guru penggerak, dengan teman-teman dari mata pelajaran lain, dengan para Kepala Sekolah yang bergerak menuju perubahan. Riak-riak perubahan itu menjadi energi yang besar sekali.
Saat Ibu Itje berbicara tentang Asesmen Nasional (AN) yang sekarang ini dilakukan, saya membayangkan kalau semua komponen sekolah sungguh memahami esensi AN itu, kalau kita mulai berani melepaskan gurita-gurita pedagogi hitam yang menjerat kita sekian lama dengan adanya Ujian Nasional: kita melawan tipu-muslihat berupa belanja buku-buku latihan soal AKM, praktik-praktik test drilling yang menjadi makanan empuk industri-industri Latihan Soal, kita melawan praktik-praktik akreditasi yang bersifat kamuflase, lalu bersama-sama, dalam jatuh bangun, kita kembangkan pembelajaran-pembelajaran efektif, kita berdayakan dan pergandakan Professional Community with Professional Talk seperti FLORETA kita yang tercinta. Saya merasa riak-riak ekosistem itu akan menjadi energi besar yang siap meledak dan melesatkan anak-anak kita, terbang jauh menuju masa depannya.
Friends Helping Friends
Hari terakhir lokakarya ini diisi oleh sharing yang sangat inspiratif dari teman-teman kita. Ibu Debby Haning berbagi pengalamannya mendesain pembelajaran efektif: bagaimana dia membedah CP, bagaimana menurunkan CP ke dalam TP yang terurut secara sistematis, yang kemudian dituangkan lagi dalam ATP, sampai akhirnya membentuk RPP/Modul Ajar yang siap dimanfaatkan di dalam ruang kelas.
Dia berbagi juga pengalaman menerapkan pembelajaran berdiferensiasi, sebuah pembelajaran yang menghargai masing-masing siswa dengan kelebihan dan kekurangannya, dengan bakat dan talenta yang khas, sebuah pembelajaran yang memacunya menjadi kreatif, dan a servant teacher.
“Saya melihat perubahan besar di sekolah kami,” kisahnya. “Kalau dulu para guru sering ngobrol pada saat jeda atau istirahat, sekarang ini, mereka sibuk gunting kertas, siapkan ini dan itu, agar pembelajaran menjadi menarik dan efektif.” Ibu Debby melanjutkan, “Kepala Sekolah kami sangat mendorong kami untuk berubah. Dia sendiri melakukan perubahan itu.”
Ibu Nita Soko dari Ende, dan Ibu Sherly Hilene dari Maumere berbagi tentang perjuangan pribadi mereka mengembangkan diri sampai menjadi guru dengan kemampuan Bahasa Inggris yang kokoh seperti sekarang ini.
Banyak hal mereka lakukan. Membaca, menonton. Mereka adalah best friends of books. Mereka adalah readers. Mereka juga percaya, a movie a day keeps your English blues away. Mereka melibatkan diri dalam berbagai kegiatan, bahkan menciptakan berbagai kegiatan sebagai pelayanan kepada masyarakat yang lebih luas. Mereka memperlebar sayap-sayap tanggung jawab. Mereka menempatkan diri dalam jaringan yang lebih luas, dalam petualangan-petualangan yang melampaui wilayahnya, lingkaran keluarga, dan pertemanannya.
Dan, sebuah ajakan Ibu Sherly sangat membesarkan hati. “Please do not belittle yourself. Jangan menganggap diri kita kecil. Percayalah pada kemampuan kita.” Dan, “Ask, and it will be given to you. Seek, and you will find. Knock, and the door will be opened,” katanya menutup sharing yang mengagumkan, sambil mengutip Kitab Suci. Menyaksikan bahwa sharing-sharing belajar terus berlanjut dalam kelompok-kelompok kecil padahal kegiatan FLORETA telah resmi ditutup, ini sesuatu amat membesarkan hati.
Kegiatan FLORETA tahun ini berakhir. Tapi riaknya sedang merambah ke sekolah-sekolah kita. Thank you a million Ibu Itje dan teman-teman. Sampai jumpa lagi.
Sekilas tentang FLORETA
FLORETA telah berkiprah selama 10 tahun di bumi Flores.
Bermula dari tawaran peluang yang diberikan oleh British Council, maka pada 1-3 Desember 2012 diadakan lokakarya para guru Bahasa Inggris sedaratan Flores di Rumah Penginapan Paroki Roh Kudus Mataloko, di bawah bimbingan 2 orang British Council Trainers, Ibu Sisilia Setiawati Halimi dari Universitas Indonesia, Jakarta, dan Ibu Veronica Triprihatimini dari Universitas Sanata Dharma.
Pada lokakarya itu nama FLORETA pertama kali disebutkan. Pada lokakarya itu pula Ibu Sisilia dan Ibu Tri menyebut Ibu Itje Chodidjah sebagai trainer mereka, dan merekomendasikan agar didampingi Ibu Itje dalam lokakarya-lokakarya berikutnya.
Maka sejak tahun 2014 Ibu Itje melatih guru-guru bahasa Inggris melalui lokakarya-lokakarya FLORETA sampai sekarang.
Ibu Itje juga menggandeng sahabat-sahabat yang rela membantu FLORETA. Pada 5-8 Oktober 2016, ibu Itje datang bersama Dr. Helena Agustin, salah satu pakar di balik genre-based approach.
Melalui Ibu Itje, FLORETA juga bekerja sama dengan lembaga International Test Center (ITC), yang menyelenggarakan lokakarya untuk FLORETA dengan judul The Leader in Me, pada tahun 2017. Pada tahun yang sama, atas bantuan ITC, diselenggarakan Test of English for International Communication (TOEIC) untuk para guru Bahasa Inggris se-daratan Flores dan masyarakat yang berminat.
Melalui Ibu Itje Regional English Language Office (RELO) dari Kedutaan Amerika beberapa kali mengirim trainers-nya menemani Ibu Itje, yakni pada tahun 2018, dan pada tahun 2019.
Pada tahun 2020 FLORETA resmi menjadi organisasi nirlaba yang berbadan hukum, dengan Akta Pendirian no. 03, 2020. Ibu Itje menjadi Pembina FLORETA.
Rm. Nani Songkares, Pr