Cabang Meluas karena Akar Mendalam – Kilas Balik (3)
GRATIA SUPPONIT NATURAM (1)
Catatan Pendidikan ala Gymnasium
Gratia supponit naturam. Rahmat mendukung kodrat. Itu terjemahan harafiahnya. Maksudnya, rahmat bekerja maksimal melalui pengembangan bakat-bakat secara maksimal. Secara negatif berarti rahmat tidak akan bekerja dengan maksimal apabila kita menyia-nyiakan kesempatan dan kemungkinan untuk mengembangkan bakat dan kemampuan yang ada pada kita secara sungguh-sungguh. Rahmat tidak akan bekerja maksimal apabila kita menjadi setengah-setengah dan minimalis. Artinya juga, kita mengembangkan bakat dan kemampuan yang ada pada kita bukan pertama-tama demi kepentingan diri kita sendiri, tetapi demi penyaluran rahmat itu bagi pelayanan kepada orang lain melalui bakat dan kemampuan kita.
Pertanyaannya adalah, bagaimana bakat-bakat itu dapat dikembangkan secara maksimal? Pertanyaan inilah yang sebetulnya mau dijawab melalui pendidikan. Kata bahasa Inggris untuk pendidikan adalah education. Kata tersebut berasal dari bahasa Latin educare, yang merupakan bentuk yang disederhanakan dari ex-ducere, yang berarti menarik keluar segala sesuatu yang tersembunyi dalam diri seseorang. Pendidikan berarti menarik keluar bakat dan kemampuan yang masih terpendam, dan mungkin tidak disadari, dalam diri seseorang untuk dipersemaikan dan ditumbuh-kembangkan. Melalui proses pendidikan bakat seseorang terlihat, bertumbuh dan berkembang.
Pendidikan yang menumbuh-kembangkan berbagai bakat dalam diri seseorang itulah yang dikembangkan semaksimal mungkin dalam tradisi pendidikan di Seminari-Seminari, terutama ketika Seminari-Seminari, termasuk Alma Mater kita, menggunakan kurikulum Gymnasium ala Eropa pada saat-saat awal berdirinya, sampai beberapa waktu kemudian setelah kemerdekaan.
Beberapa hal sangat menonjol dalam kurikulum itu, yakni pengembangan bakat-bakat dan kemampuan intelektual terutama melalui bahasa (di mana otak diperlakukan sungguh sebagai alat untuk berpikir, sehingga kegemaran berpikir, kebiasaan berpikir bahkan keberanian berpikir sungguh dikembangkan), pengembangan bakat-bakat dan kemampuan artistik terutama melalui kesenian dan musik, pengembangan bakat-bakat dan kemampuan jasmani melalui olahraga, dan pengembangan kemampuan rohani melalui pendidikan dan latihan-latihan rohani.
Dengan demikian melalui kurikulum pendidikan seperti ini diupayakan agar sebagian besar bakat yang terpendam dalam diri manusia diberi ruang untuk bertumbuh, sehingga ia dapat menjadi manusia yang baik.
Melihat kurikulum pendidikan seperti ini, manusia seperti apakah yang mau dihasilkan? Manusia yang baik, manusia tipe ideal, yang bertumbuh-kembang secara seimbang dalam hampir semua bakat-bakatnya. Kita lalu tergoda untuk bersikap skeptis: dapatkah manusia tipe ideal itu terwujud?
Dalam hal ini, menurut hemat saya, sebaiknya kita tidak berandai-andai. Kita perlu memasang telinga untuk mendengar kembali suara dari kedalaman sejarah, khususnya sejarah pendidikan di Seminari kita kurun waktu 25 tahun yang pertama (1926-1950).
Mendengar Suara Sejarah
Dari catatan sejarah pendidikan di Seminari kita terlihat betapa penumbuh-kembangan bakat-bakat diwujud-nyatakan dalam pendidikan humaniora yang kokoh. Dua hal mau dicapai sekaligus, yakni kualitas pengetahuan dan kualitas watak yang kokoh.
Para pendidik di Seminari adalah pengajar-pengajar yang profesional. Mereka menyiapkan materi dan metode pengajaran secara baik. Mereka menerapkan disiplin yang ketat, bukan untuk membelenggu dan memasung kreativitas siswa, tetapi untuk memacu siswa berkembang secara maksimal baik intelek maupun kepribadiannya.
Karena itu, dalam pandangan J. Riberu, mereka, para pendidik itu, bukan hanya pengajar, tetapi sekaligus benar-benar pendidik. Bagi pendidik tipe ini, kegiatan mengajar yang berarti pengembangan pengetahuan dan keterampilan dalam diri siswa memang penting. Akan tetapi tujuan utama adalah pembinaan watak (Riberu Dr. J.”Setengah Abad Lalu: Jasa Pendidikan dan Para Pendidik Flores” dalam Dungkal.A. Jejak Langkah Pendidikan dan Para Pendidik Flores.Jakarta: Yayasan Padi Jagung 1999).
Mereka merasa tidak puas kalau peserta didik hanya pandai karena menguasai pengetahuan dan keterampilan. Mereka berusaha agar anak asuhannya memiliki peringai dan sikap hidup yang menyebabkan dia dianggap manusia yang baik. Cita-cita mereka adalah menjadikan anak asuhannya manusia yang baik dalam arti yang seasli-aslinya. Itulah pendidikan humaniora yang mereka kembangkan melalui sistem ini.
Berbagai mata pelajaran yang diberikan pun menampakkan cita-cita ini: manusia berpengetahuan dan manusia berwatak. Ada mata pelajaran, tapi tidak banyak dan bertumpuk-tumpuk. Yang penting adalah penguasaan tiga kompetensi dasar: membaca, menulis, berhitung, yang mengarah pada pengembangan kemampuan berpikir (Nani Songkares, Pr – Bagian I).