
Ulasan Rm. Nani Songkares, Pr
Sejumlah siswa SMPS Seminari tekun memungut potongan-potongan sampah berupa carikan kertas, serat bambu, bungkusan manisan, plastik, sekecil apa pun, dan meletakkannya di tempat sampah, Sabtu (6/9/2025) pagi.
Mereka seakan paham ungkapan orang Amerika, “Every little bit hurts – setiap potongan sampah yang kecil menyakitkan”. Di tengah mereka, Rm. Arman Wara, prefek/pamong SMP ikut bekerja. Mereka sudah melakukannya sejak pukul 7.30 pagi.
Di panggung sejumlah pemain band dan penyanyi tekun berlatih. Lagu Bahomian Rhapsody dari Queen terus diulang-ulang sampai terdengar sedap. Juga lagu-lagu lainnya.
Glen Sigaray, siswa kelas XI, salah seorang penyanyi, tak henti-henti berlatih bersama teman-temannya.
Di aula, Armin Kase bekerja seorang diri dalam kesunyian. Dia menggunting gambar, membuat caption, mengumpulkan foto-foto.
Tanggung jawabnya adalah memamerkan aneka kegiatan OSIS SMA Seminari dalam setahun. “Ada pines kah?” Dia minta bantuan. “Ada di English Room, di keranjang di depan meja kerja saya,” jawab saya.
Di kantin, Fiken Janggo dan teman-teman mengolah tepung terigu, iris bawang, buncis, menyiapkan peralatan masak. Tugas mereka menyiapkan bakso, gorengan, bakwan. “Senang sekali Romo. Mbak Cucu itu asyik cara ajarnya. Kami jadi tahu bikin bakso, bakwan, gorengan. Dia beri kami kebebasan,” katanya sambil tersenyum gembira.
Mbak Cucu itu seorang ibu kelahiran Jakarta yang tinggal di Bajawa. Dia terampil memasak. Dia sering diminta mendampingi anak-anak yang ingin belajar memasak.
“Bakso, gorengan, bakwan kami laku, Romo. Satu hari bisa satu juta,” tambah Ernesto Lera yang baru bergabung ke Seminari tahun ini. “Mbak Cucu itu orangnya disiplin. Dia minta kami bekerja dengan tanggung jawab, dan kerja dari hati. Kerja dengan dia bikin kami mengalami banyak hal.” Pada saat Fiken Janggo mengungkapkannya, terasa itu nilai-nilai yang hidup dalam dirinya. Itu kapasitas batinnya. Dia bersyukur diberi ruang untuk bertumbuh dalam kapasitas batin.
Di dapur darurat, masing-masing kelompok sibuk mempersiapkan masakannya. Ada siswa SMA, SMP, para guru, pegawai, karyawan/ti. Masing-masing dengan tugasnya. Kelompok yang satu menu makanan daging babi, kelompok yang lain ayam dengan macam-macam jenis kuliner. Yang lain lagi ikan. Yang satunya anjing.
Ruang laboratorium IPA di pojok selatan dalam jejeran paling luar sebelah timur kompleks SMA dipenuhi lukisan para siswa. Ada gambar Kelimutu. Pemandangan alam. Burung-burung. Bunga. Wajah di tengah bulan. Manusia berwajah jamak. Macam-macam.
Sejumlah siswa sedang tekun bekerja dalam kelompok. Sendiri. Mengamati. Melanjutkan, mengecat lagi. “Teman-teman ini kerja dari hati Romo. Saya melihat semua punya tekad bisa menyelesaikan lukisan mereka,” kata Nelson Mola.
Di English Room sekelompok siswa yang tergabung dalam Seksi Jurnalistik tekun mengolah peristiwa dan fakta untuk dijadikan berita. Hampir setiap hari ada berita dan tulisan baru yang dipublikasi dalam website Seminari. . Sekelompok siswa SMA seksi MC mempersiapkan script untuk MC dan berlatih.
Di tempat yang sama pula sejumlah siswa SMP membawa laptopnya masing-masing lalu membaca atau menonton.
Semua kegiatan ini dilakukan untuk sebuah kegiatan besar: Bazar Berkhmawan yang berlangsung pada Minggu (7/9/2025). Bazar Berkhmawan adalah kegiatan tahunan yang dirancang demi tujuan-tujuan edukatif. Bahwa ada keuntungan finansial yang diperoleh, mungkin saja. Namun yang lebih penting dari itu, ruang-ruang edukatif yang dibuka bagi siswa untuk belajar sesuatu yang berguna bagi kehidupannya.
Mengatur Diri Sendiri
Yohanes Ndiwa Koandijalo, S.Pd, guru musik jebolan Seni Drama Tari dan Musik (Sendratasik) Unwira Kupang mengungkapkan kegembiraannya melihat anak-anak belajar dengan penuh semangat dari pagi sampai malam.
“Ini berbeda dengan belajar di ruangan kelas. Kita terkunci, terbelenggu pada materi. Waktu untuk penerapan kurang. Pada momen-momen seperti ini anak-anak belajar untuk menghubungkan apa yang mereka dapatkan di kelas dengan penerapan praktisnya,” ungkap Yani, panggilan sehari-hari alumnus Seminari yang telah lebih dari 10 tahun mengabdi di alma maternya ini.
“Anak belajar bekerja sama, saling mengisi, saling mengingatkan. Mereka belajar berkoordinasi. Mereka tahu apa yang harus mereka lakukan dan belajar bertanggung jawab. Mereka juga belajar berdisiplin. Waktu yang disediakan terbatas, dan mereka harus menyelesaikan tugasnya dengan maksimal dalam limit waktu yang terbatas itu. Dan anak-anak kita bisa,” tegasnya.
Proses pembelajarannya integral. Seluruh daya kemampuan dikerahkan. Kapasitas intelektual untuk memahami tugas, mengerti langkah-langkah yang harus dilakukan. Kapasitas motorik dimana mereka dituntut gesit berlangkah, bergerak mengambil tindakan konkret. Kapasitas afektif dimana hati, perasaan dilibatkan secara penuh, menyatu. Para siswa membelajarkan diri sepenuhnya.
Suasana cair. Romo, guru, pegawai, siswa, karyawan/ti lebur jadi satu. Komunikasi multi-arah. Semua jadi murid dan guru sekaligus. Inisiatif terbangun dengan sendirinya. Ada yang mengambil air, membersihkan peralatan masak, membersihkan sayur, menyapu, ngepel, dan lain.lain.
Kapasitas sosial, interpersonal, intrapersonal, diasah. Kemampuan berkomunikasi, bernegosiasi, berkoordinasi, yang sangat penting bagi kehidupan mendapatkan ruang yang besar, yang barangkali tidak terpenuhi secara luas dalam proses-proses belajar yang terlalu institutionalized, terstruktur – ada jadwal ketat, seragam, ruang kelas tradisional dengan altar bagi guru, duduk terpaku mencatat dengan komunikasi yang sering satu arah.
“Anak sekarang ini muak digurui dan dinasihati terus-menerus,” tukas Rm. Benediktus Lalo, Pr, pamong/prefek SMA Seminari. Dia melanjutkan, “Yang penting untuk saya, kalau anak sudah bergerak tanpa terlalu dikomandoi, bergerak dengan kapasitas dan kreativitas mereka sendiri, mampu mengatur diri mereka sendiri, itu sungguh edukatif. Untuk saya ini sudah merupakan pencapaian pendewasaan diri yang bagus. Ini yang macet di kelas. Kita hanya memantau, dan memastikan diri hadir. Kontrol tanpa membuat anak merasa diawasi. Merekalah yang mengawasi diri mereka sendiri. Itulah proses pertumbuhan, pendewasaan diri. Mereka belajar mengatur diri sendiri. Kita berada pada jalan yang baik.” Ahli pendidikan jebolan Universitas Sanata Dharma itu optimis menatap proses pendidikan ke depan.
Sebelum dan Sesudah
Rm. Beny menegaskan, penting sekali memperhatikan proses sebelum dan sesudah kegiatan berlangsung. “Perlu ada rambu-rambu yang kita ingatkan pada anak-anak sebelum proses berlangsung. Karena kegiatan ini massal, dan sangat mungkin beberapa anak bersembunyi di balik kegiatan massal ini, dan dia tidak dapat apa-apa. Itu sebabnya, saya selalu mempunyai waktu untuk mereka malam hari sesudah doa malam, untuk mengingatkan mereka akan hal-hal penting yang harus mereka tumbuhkan pada saat proses berlangsung.”
Hal yang sama harus dilakukan sesudah kegiatan selesai. “Ada pertanyaan-pertanyaan reflektif yang kita ajukan agar mereka bisa mengendapkan banyak nilai yang mereka pelajari,” jelas salah satu imam senior di Seminari ini yang tak henti-henti mengajak siswa untuk melakukan evaluasi diri untuk setiap kegiatan yang sudah berlangsung. “Ini mutlak dilakukan,” lanjutnya,” agar tidak terjebak aktivisme. Siswa kita harus terus kita ajak duc in altum – bertolak ke tempat yang dalam.”
Dari tahun ke tahun, Bazar Berkhmawan ramai dikunjungi. Namun, proses menuju kegiatan besar tersebut, dan refleksi yang dilakukan setelah kegiatan sangat penting untuk menempatkan kegiatan-kegiatan tersebut sebagai ruang-ruang belajar dan kelas baru.
Butuh keseimbangan antara struktur dan ruang-ruang ekspresif bagi proses pendidikan Gen Z kita.