“TIDAK! TIDAK!” (2)

Laporan Perjalanan Rm. Nani (53)

Dalam penerbangan dari EuroAirport Basel, Swiss, ke Roma, Selasa (24/6/2025) saya membaca buku Paulo Coelho berjudul Like the Flowing River. Ada cerita menarik tentang pensil, di sana.

Seorang bocah lelaki melihat neneknya menulis sebuah surat. “Nek menulis tentang saya ya? Tentang apa yang saya lakukan?”

Nenek itu berhenti menulis dan mengatakan, “Saya memang menulis tentang dirimu. Namun, bukan kata-kata tapi pensil-lah yang lebih penting. Saya berharap kalau kau jadi besar, kau akan seperti pensil ini.”

Anak itu terheran-heran, lalu mulai memperhatikan pensil itu. Tidak ada sesuatu yang istimewa. “Pensil ini sama saja dengan pensil yang lain,” katanya kepada sang nenek.

“Tergantung cara kau melihatnya.” Nenek itu mulai bercerita. “Pensil ini punya 5 kualitas. Kalau kau berpegang padanya, kau akan menjadi seseorang yang selalu mengalami kedamaian di dunia.”

“Kualitas pertama,” lanjut sang nenek, “kau mampu melakukan hal-hal besar. Namun, kau tidak boleh lupa bahwa ada tangan yang membimbing langkahmu. Kita menyebut Tangan itu Tuhan, dan Dia selalu menuntun kita kepada kehendak-Nya.

Kualitas kedua: sesekali saya harus berhenti menulis, lalu menggunakan peruncing. Sedikit sakit, memang, tapi setelah itu pensil akan menjadi jauh lebih tajam. Jadi kau harus rela menanggung rasa sakit dan penderitaan, karena mereka akan membuatmu lebih baik.

Kualitas ketiga: pensil itu selalu membiarkan kita menggunakan penghapus untuk membersihkan dan membetulkan kesalahan. Itu artinya memperbaiki sesuatu yang kita lakukan sama sekali bukan hal yang buruk. Itu membantu kita tetap pada jalan keadilan.

Kualitas keempat: bukan kayu bagian luar tapi grafit bagian dalam itulah yang penting. Karena itu selalulah memperhatikan apa yang hidup di kedalaman batinmu.

Dan akhirnya, kualitas kelima: pensil itu pasti selalu meninggalkan jejak, tanda. Hal yang sama berlaku untuk dirimu. Apa pun yang kau lakukan pasti akan meninggalkan jejak, jadi berusahalah untuk selalu sadar setiap kali kita melakukan sesuatu.”

Saya terdiam cukup lama setelah membaca kisah yang istimewa tentang pensil itu. Saya ingat satu dua pengalaman kebersamaan dengan Rm. Stefan Wolo Itu dan P. Albert Nampara, SVD.

Hari Sabtu pagi (21/6/2025) yang lalu setelah sarapan, Stef mengajak saya berlatih sebuah lagu. “Ini pengganti paragraf terakhir dari kotbah. Saya main gitar, kae nyanyi.”

Kami ke sebuah paroki yang dilayani Stef. Umat yang hadir rata-rata berusia tua. Mereka menyisihkan waktu untuk merayakan Ekaristi, anticipated Mass. Maksudnya misa untuk hari Minggu yang dirayakan pada hari Sabtu.

Saya tidak mengerti apa yang disampaikan Stef dalam kotbahnya, tapi saya tahu umat yang hadir menyimak.

Di akhir kotbah, dia mengajak saya ke mimbar. Dia mengambil gitar, dan kami bernyanyi, “Ajarilah kami bahasa cintaMu agar kami dekat padaMu ya Tuhanku”.  Tepuk tangan bergemuruh oleh umat yang hadir, sambil berdiri.

“Stef, ini pertama kali saya nyanyi begini.” Saya tidak merasa mempersembahkan sesuatu yang istimewa. Suara saya juga karatan.

“Kae, sesuatu yang di tempat kita biasa-biasa saja, di tempat lain menjadi luar biasa, karena kita menyentuh hati orang,” katanya. Dia bercerita bagaimana dia mulai belajar bermain gitar dan bernyanyi. “Itu jembatan evangelisasi, di sini,” jelasnya dalam nada reflektif.

Saya teringat kualitas pertama dari pensil. Di tangan Tuhan, sesuatu yang biasa-biasa menjadi persembahan yang luar biasa.

Setelah Perayaan Ekaristi, Stef menyempatkan diri bersendagurau dengan umatnya, menyalami dan menyapa mereka.

Hal yang sama terjadi pada Perayaan Ekaristi, Minggu (22/6/2025). Kali ini P. Albert Nampara, SVD menemani. Dia piawai sekali memainkan saksofon.

Kami menyanyikan bersama “Bahasa Cinta”. Albert meniupkan saksofon, Stef bermain gitar, dan saya bernyanyi. Itu dilakukan setelah kotbah. Setelah komuni, Albert berduet bersama Patricia yang bermain organ pipa dan menyanyikan The Goodness of God.

Kedua misionaris ini menyapa umat satu per satu setelah Perayaan Ekaristi. Saya melihat sukacita yang terpancar pada wajah mereka, umat di paroki itu.

Saya teringat Franco Santoro, seorang penulis buku mengenai kerohanian dan transformasi yang berbicara tentang salam dan sapaan. “These are not just mere greetings. They are powerful blessings, setting the best vibration for the day – Itu bukan sekadar sapaan. Itu adalah rahmat yang bertenaga, yang membentuk vibrasi terbaik untuk hari itu”.

Sesudah Perayaan Ekaristi itu, Stef pamit duluan, karena harus melayani umat di paroki lain. Albert dan saya diundang minum kopi bersama di pastoran. Albert memegang gitar, lalu memainkan lagu-lagu rakyat Swiss dengan lincah.

Umat ikut bernyanyi. Mereka menggerakkan tubuh sesuai irama lagu. “Itu lagu-lagu Swiss di masa lalu. Waktu mereka kecil, orang-orang ini menyanyikan lagu-lagu itu, dan ini membangkitkan kenangan indah masa kecil,” jelas Albert.

“Bagaimana kau bisa menguasai begitu banyak lagu?” tanya saya. “Saya berteman dengan seorang tua yang pandai meniupkan clarinet. Saya belajar banyak sekali lagu darinya,” katanya.

Usai minum kopi, satu keluarga mengundang Albert dan saya ke apartmen mereka, yang tidak sepelempar jauh jaraknya. Apartemen itu besar, disiapkan pemerintah untuk orang-orang jompo.

Kami diajak berkeliling sejenak melihat-lihat apartemen: kamar tidur, ruang tengah, kamar makan, teras depan dengan pemandangan yang indah.

Kami turun satu lantai. Seorang ibu yang tua menyapa kami. Dia kelihatan sudah pikun. Albert segera mengambil gitar, dan menyanyikan lagu-lagu Swiss yang indah.

Orang-orang tua keluar dari kamar masing-masing. Ada yang berjalan tertatih-tatih, ada yang menggunakan kursi roda. Mereka berkumpul, mendengar Albert bernyanyi, ikut bernyanyi, dan melambaikan tangan, atau menggerakkan tubuh.

Where words fail, music speaks – Saat kata-kata gagal, musik berbicara,” kata Beethoven, seorang musikus yang terkenal.

Kata-kata tak sanggup menggugah hati orang-orang tua ini, tapi musik bisa. Musik membuat hati mereka disentuh. Mereka hidup lagi.

Siang harinya, kami diundang makan siang di sebuah restoran di pinggir lapangan golf. Yang mengundang kami pasangan Markus dan Silvia.

Percakapan dengan kedua orang tua itu tidak hanya menyangkut hal-hal keseharian yang lumrah, tapi di sana-sini refleksi pastoral yang mendalam: harapan-harapan mereka, kecemasan, kekecewaan, kegembiraan yang mereka alami.

Saya teringat kualitas kedua dari pensil. Berhenti sejenak. Mendengar, berrefleksi, untuk mempertajam pisau pastoral. Hal ini pasti sering dilakukan kedua misionaris ini ketika mereka berkumpul, ketika bersendiri. Stef sering mengendapkan semuanya itu, dan berbagi dalam tulisan-tulisan.

“Kae, mereka sering terus terang menyampaikan kritik. Saya selalu merasa gembira, karena saya mendapatkan kesempatan memperbaiki diri,” kata Stef suatu waktu setelah menceritakan kepada saya mengenai seorang ibu yang mengeritik kotbahnya. Ini penghapus pensil yang digunakan untuk membersihkan.

Setelah cukup lama berada di restoran itu, tibalah saat yang paling berat. Stef menyampaikan bahwa masa pelayanannya di Swiss akan berakhir. “Tidak, tidak!” kata Markus. Silvia terdiam.

Stef dan Albert berusaha menjelaskan sesuatu yang tidak saya tangkap. Tiba-tiba Markus dan Silvia tertawa. Ternyata Albert piawai mencairkan suasana dengan komentar-komentar dalam bahasa Swiss yang kocak.

“Ya, pasti ada tugas baru yang penting yang akan Stef lakukan,” kata Markus berusaha memahami.

Kami pulang sore hari. Kali ini kami tidak langsung ke pastoran, tapi mengunjungi keluarga lain: Paul dan Teres. Kisahnya akan ditulis di lain kesempatan. 

Puji Tuhan. Misionaris kita di tempat yang asing telah menjadi seperti pensil dengan berbagai kualitasnya. Mereka mewartakan dengan seluruh kehadiran mereka, dengan segenap apa yang bisa mereka persembahkan, dan hanya bila perlu, dengan kata-kata.

Life that speaks!

  • Related Posts

    “TIDAK! TIDAK!” (1)

    Laporan Perjalanan Rm. Nani (52) Kata ini selalu diucapkan oleh keluarga-keluarga yang kami kunjungi di Eiken, Swiss, atau di paroki-paroki sekitarnya. Setelah misa sore di sebuah gereja pada Kamis (19/6/2025),…

    MENARA PISA

    Laporan Perjalanan Rm. Nani (51) “Kae, nanti hari Sabtu kita jalan-jalan ke Pisa e?” kata P. Kons Beo, SVD. Tawaran ini segera disambut. Kapan lagi bisa datang ke Pisa. Saya…