
Laporan Perjalanan Rm. Nani (52)
Kata ini selalu diucapkan oleh keluarga-keluarga yang kami kunjungi di Eiken, Swiss, atau di paroki-paroki sekitarnya.
Setelah misa sore di sebuah gereja pada Kamis (19/6/2025), Rm. Stef Wolo Itu, imam diosesan Keuskupan Agung Ende, misionaris yang bekerja di Swiss mengajak saya pulang sambil berjalan kaki.
“Mari kita lewat kebun-kebun dan hutan. Kae pasti senang.” Imam kelahiran Wolorowa ini selalu ingin saya mengalami sisi yang lain. Waktu itu pukul 7.00 malam, tapi di Swiss matahari bersinar sangat cemerlang. Udara bersih, langit biru.
Kami menyusuri lereng bukit. Ada hamparan kebun jagung yang subur menghijau. “Banyak orang tanam jagung di sini. Pakai mesin. Biasanya untuk hewan,” jelas Stef. Ada juga hamparan tanaman raps yang sudah menguning. “Ini tanaman penting, kae.”
Saya tercengang-cengang. Hamparan tanaman raps luas, tapi rapi dan indah. Di daerah dingin seperti Swiss minyak raps digunakan untuk banyak keperluan, termasuk minyak goreng. “Wah, ini sehat sekali,” tambahnya. Betul. Raps mengandung asam lemak tak jenuh tunggal, yang baik untuk kesehatan. Juga kaya vitamin E. Tanaman ini bisa diolah sebagai biodiesel, dan ampasnya untuk pakan ternak.
Budidaya raps sudah berabad-abad dilakukan masyarakat di Eropa. “Mereka selalu gunakan pupuk organik,” tegas Stef. Komitmen mereka pada ekonomi hijau kuat sekali.

Setelah melintasi area tanaman raps, kami masuk ke area tanaman bunga matahari yang juga digunakan untuk produksi minyak.
Kami melintasi daerah dengan hutan yang lebat. Lalu menuruni bukit. “Kae, ada satu keluarga undang kita makan malam.”
Dari kejauhan Stef sudah menyapa. Walter dan istrinya Barbara gembira sekali menyambutnya. Mereka berpelukan, bercanda dan tertawa.
Di depan rumah sudah disiapkan meja dan kursi. Beberapa meter dari tempat itu, masih di halaman depan, sudah ada oven listrik dan sejumlah gulungan wurst, daging cincang seperti sosis.
“Mari, kita minum bir dulu,” kata Walter sambil membagikan botol bir. Sebentar kemudian Walter bergegas ke oven. Pulang lagi. Bercakap-cakap lagi dengan Stef sambil tertawa gembira. Barbara juga ambil bagian. Dan Urs, putra semata wayang yang bekerja di pabrik obat-obatan. Duduk sambil senyam-senyum.
Sedikit ke timur, ada kolam ikan yang besar. Di sekelilingnya rerumputan hijau yang dirawat rapi dengan pagar kawat yang membatasinya. Di dalamnya ada seekor anjing besar, duduk menghadap kami semua, seakan ingin bergabung. Sebuah rumah kecil dari kayu menutupi sudut bagian timur. Pada bagian terluar, ada hutan dengan pohon-pohon hijau yang lebat.
“Having somewhere to go is home. Having someone to love is family. And having both is a blessing – Punya tempat dimana kita bisa pergi, itu rumah. Punya seseorang untuk kita cintai, itu keluarga. Punya kedua-duanya itu berkat”, kata Lisa Weed.
Saya rasakan itu saat berkunjung ke keluarga ini, juga ke keluarga-keluarga lain: ada Hans Peter dan Teresa, ada Markus dan Silvia, ada Paul dan Teres. Mereka orang-orang sederhana yang menjadi sahabat-sahabat misionaris kita.
Orang Swiss itu berbeda sekali dengan, misalnya, orang Italia. Masuk kereta di Italia, itu bisa ramai sekali – karena jumlah orang yang banyak, karena orang-orang Italia suka bercanda.
Pertama kali masuk ke dalam bus di Swiss, saya diingatkan oleh Stef supaya menjaga volume suara. Karena orang-orang Swiss suka ketenangan.
Bahwa mereka membuka pintu rumah lebar-lebar, bercanda tidak habis-habisnya, menghidangkan makanan terbaik, minum bermacam-macam: bir, anggur, dan banyak lagi ‘holy water – air suci’ lainnya, itu penerimaan yang istimewa sekali. Kata holy water itu datangnya dari Walter.
Itu bukan hanya pengalaman home. Bukan hanya pengalaman love. Itu kedua-duanya. Itu berkat, kalau kita mau meminjam semua terminologi Lisa Weed di atas.
Dan itu tidak datang begitu saja. Investasinya panjang, setiap hari, penuh ketekunan, kerelaan melayani, berkunjung, menyapa, hadir, merangkul Salib, memanfaatkan kesendirian secara kreatif, rela melewati tahap-tahap interkulturalitasnya Milton Bennet – denial, polarization, minimization, bridging, acceptance, adaptation, dan integration (saya pernah mengulasnya di Laporan Perjalanan 30 – Yang Indah dari Nemi 2).
Setelah semua kegembiraan itu, tiba saat yang saya rasa paling sulit untuk Stef dan Walter serta Barbara.
Stef menyampaikan bahwa dia akan kembali ke Indonesia. “Tidak, Tidak!” Kata Walter. Juga Barbara. Urs tinggalkan meja.
Untuk sesaat kami terdiam. Stef menjelaskan lebih jauh mengenai tugas yang dipercayakan Uskup kepadanya. “Sebagai imam diosesan, saya berserah diri pada perutusan yang disampaikan Uskup kami,” jelasnya.
Saya dapat merasakan kesedihan di wajah mereka. “Orang-orang tua seperti ini sering berpesan kepada kami agar kalau mereka meninggal, kami yang harus menguburkan,” kata Albert Nampara, SVD, misionaris yang telah lebih dari 25 tahun berkarya di Swiss. Albert dan Stef sering berpastoral bersama-sama.
“Kunjungan seperti ini bagi mereka itu menyentuh sekali. Nanti anak-anak atau cucu-cucu mereka berkontak untuk mengucapkan terima kasih,” tambah Stef.
Bahkan, kisahnya, banyak anak muda tertegun. “Orang asing saja mau punya waktu untuk menemani kakek-nenek kita, sedang kita sibuk dengan urusan dunia.” Stef menirukan pengakuan kaum muda. Beberapa dari mereka kembali menata hidup mereka agar punya compassionate connectivity – keterjalinan yang datang dari hati – untuk sanak keluarga mereka.
“Stef, di Swiss ini justru harapan hidup menggereja ada pada orang-orang tua. Mereka pilar-pilar iman yang hidup, walapun kelihatan rapuh seperti batang ilalang yang hampir patah,” gumam saya.
Malam itu wurst dan anggur, dan bir, dan holy water lainnya enak sekali. Untuk pertama kalinya di Eropa ini, saya minum banyak sekali.
Walter mengajak kami jalan-jalan di seputar kebun, menuju pondok kayu. Hmm, dari luar kelihatan sederhana. Di dalam, perabotnya lengkap untuk jadi tempat istirahat. Dan minuman holy water dari berbagai jenis dideretkan rapi di sebuah lemari. “Itu minuman dari kebun mereka sendiri,” kata Stef.
Rahasia kekayaan kemanusiaan orang Swiss tersembunyi di rumah, di kebun. Kalau mereka membukanya untuk Stef dan Albert, betapa mereka merasakan dalam diri keduanya paduan home dan love yang menyentuh hati orang-orang Swiss.
Puji Tuhan. Saya bisa ikut merasakan getar kemanusian dalam dunia dan kultur yang berbeda.