SILENTIUM EST AUREUM (4)

Laporan Perjalanan Rm. Nani (50)

Salah satu momen yang indah dari retret adalah ketika kita diajak untuk dengan rendah hati melihat dan dengan besar hati merangkul the shadows of our lives – bayang-bayang gelap kehidupan kita.

Semua kita mempunyai bayang-bayang gelap kehidupan. Bayang-bayang yang membuat kita merasa bersalah, bercacat, atau malu.

Kita tidak bisa mengatasi bayang-bayang gelap itu dengan melupakannya, atau menguburkannya. Kalau itu yang kita lakukan, tampaknya kita mengatasinya, tapi sifatnya sementara saja. Lukanya tersembunyi, dan bisa menjadi kekuatan yang mengontrol tingkah laku kita tanpa sadar. Demikian penjelasan Dr. Gregory Pinto, SVD, dalam bukunya Journeying into Healing and Self-Transformation.

Menurut Pinto, kita sering menghindari bayang-bayang gelap kehidupan karena merasa takut. Kita perlu dengan besar hati menerima bayang-bayang gelap kehidupan kita. Doukmen Kapitel General SVD ke-16 mengatakan, “Spiritualitas Salib menuntun kita untuk merangkul kegagalan dan ketidaksempurnaan sebagai bagian dari perjalanan kita”.

Dengan menjadi sadar akan kekurangan, keterbatasan, dan bayang-bayang gelap kehidupan, kita menjadi lebih otentik, dan ini membantu kita bertumbuh. Kata Albert Einstein, “Once we accept our limits, we go beyond them – begitu kita menerima keterbatasan kita, kita berlangkah melampauinya,” kita mendapatkan kekuatan untuk mengintegrasikannya.

Apakah hal-hal menyakitkan yang sudah saya lakukan untuk orang lain? Ini pertanyaan yang menjadi pergumulan saya.

Rasanya banyak sekali hal menyakitkan yang sudah saya lakukan. Namun, tidak cukup hanya menyadari dan menerima bayang-bayang gelap yang menyakitkan itu. Perlu ada tuntunan, kerelaan, dan keberanian untuk masuk lebih jauh, menyentuh akar, luka-luka awal di masa lalu yang membuat bayang-bayang gelap itu membentuk pola tingkah laku kita.

Di sinilah, rasanya peran pembimbing rohani selama retret. Saya bersyukur mendapat bimbingan Thomas Heck yang sangat terlatih dalam terapi gestalt.

Saya dibimbing untuk bersentuhan dengan pengalaman-pengalaman awal yang menghadirkan bayang-bayang menyakitkan dalam hidup saya, revisiting the wounds. Ini membantu meningkatkan awareness, kesadaran.

Ini juga membantu memperluas perspektif saya mengenai apa yang terjadi, mengapa orang-orang penting dalam kehidupan saya dulu melakukannya terhadap saya (understanding).

Pemahaman dengan perspektif yang lebih luas membantu saya untuk berbela-rasa (compassion), baik terhadap orang-orang penting yang pernah bersentuhan dengan kehidupan saya maupun terhadap diri saya sendiri.

Understanding dan compassion menuntun saya masuk ke dalam pengampunan (forgiveness) yang membantu memperbaiki relasi baik dengan diri saya sendiri maupun dengan orang lain.

Ketiga hal ini: understanding, compassion, dan forgiveness membuka ruang bagi proses belajar, atau pemrograman baru diri kita, yang pada gilirannya (mudah-mudahan) membawa transformasi.

 

Tempat yang Salah

Ada cerita menarik tentang satu bapa yang merangkak mencari sesuatu yang hilang di bawah lampu jalan yang terang. Lalu satu polisi datang, “Kamu cari apa?” “Cari kunci saya yang hilang,” jawab orang itu. Dia agak mabuk. “Kunci itu jatuh di mana?” Polisi ingin tahu. “Jatuh di sini?” “Tidak!” jawab orang itu. “Kunci itu jatuh di lorong sana waktu saya lewat.” Polisi terbengong-bengong. “Di sini lebih terang, jadi saya cari di sini,” jawab orang mabuk itu.

Kita suka sekali mencari pemecahan masalah dengan cara dan di tempat yang salah. Kadang-kadang kita mau mengubah orang dengan cara mempersalahkan atau menuding, atau menilai orang jelek, padahal dengan cara itu masalah tidak teratasi dan komunikasi tersumbat. Jarak semakin jauh. Kuda-kuda semakin dipasang. Orang semakin mengeras. Kita semakin tersulut. Mempersalahkan, menuding, dan menilai orang jelek semakin menjadi-jadi. Kita terjerat lingkaran setan.

Kita sering juga merasa yang salah orang lain. Padahal mungkin yang salah dan yang harus diperbaiki adalah diri kita sendiri.

Lagi pula, kalau kita terus menyantap racun kepahitan, kemarahan, dan ketidakrelaan mengampuni, termasuk mengampuni diri sendiri, kita pincang secara emosional dan secara rohani.

Kata Rumi, “The wound is the place where the light enters you – luka adalah tempat cahaya masuk ke dalam diri kita”.

Semua ini mungkin terjadi kalau kita ada waktu untuk keheningan. Orang Roma benar, silentium est aureum – hening itu emas.

  • Related Posts

    “TIDAK! TIDAK!” (2)

    Laporan Perjalanan Rm. Nani (53) Dalam penerbangan dari EuroAirport Basel, Swiss, ke Roma, Selasa (24/6/2025) saya membaca buku Paulo Coelho berjudul Like the Flowing River. Ada cerita menarik tentang pensil,…

    “TIDAK! TIDAK!” (1)

    Laporan Perjalanan Rm. Nani (52) Kata ini selalu diucapkan oleh keluarga-keluarga yang kami kunjungi di Eiken, Swiss, atau di paroki-paroki sekitarnya. Setelah misa sore di sebuah gereja pada Kamis (19/6/2025),…