
“Matahari terbit membawa cahaya / tanda kasih Tuhan tiada padam / Mataloko setia menempa jiwa / Hingga 96 tahun tetap berdampak dalam”. Pantun ini didaraskan Vikjen Keuskupan Agung Ende, Rm. Frederikus Dhedhu, Pr, mengakhiri kata sambutannya dalam dies natalis ke-96 Seminari St. Yoh. Berkhmans Todabelu, Mataloko, Senin (15/9/2025).
Perayaan yang bertemakan “Menyulam Harapan, Mewartakan Kebenaran” dilangsungkan meriah dan hikmat, di lapangan apel bendera, depan kapela SMA Seminari. Diawali Perayaan Ekaristi, puncak Pesta Famili (Pesfam) Seminari itu diisi berbagai atraksi menarik dari Bengkel Teater Kata Seminari dan Berkhmawan Band.
Hadir dalam perayaan tersebut Asisten II dari Kabupaten Ngada dan Nagekeo yang mewakili pemerintah masing-masing bersama sejumlah pejabat, perwakilan alumni dari Ende, Nagekeo dan Bajawa, pengurus Komite SMP dan SMA, dan perwakilan orang tua siswa dari berbagai daerah.
Pada akhir Perayaan Ekaristi diadakan penandatanganan Nota Kesepahaman antara Seminari dan Universitas Atma Jaya Yogyakarta berkaitan dengan kerja sama selama 5 tahun ke depan dalam bidang pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat. Bapak Trias Mahendarto, S.T., M.Arch., sebagai perwakilan Universitas Atma Jaya menyaksikan peristiwa bersejarah tersebut.
Pada perayaan itu pula dilangsungkan simbolisasi penyerahan dompet alumni sebagai ungkapan gerakan cinta alma mater menuju Satu Abad Seminari, sebuah komitmen kolektif maupun individual segenap alumnus Seminari untuk berpartisipasi dalam proses pendidikan calon imam pada tahun-tahun mendatang.
Tiga Rentangan Waktu
Dalam kotbahnya, mantan Ketua Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa (STIPAR) Ende menyentil tiga rentangan waktu penting dalam perjalanan sejarah Seminari, yakni masa lampau, masa kini, dan masa depan.
Romo Fery, panggilan akrab Vikjen Keuskupan Agung Ende ini, mengajak umat merenungkan dengan penuh syukur masa lampau Seminari. “Di sana,” demikian ungkap ahli sosiologi pastoral ini, “tertanam doa dan jerih payah para pendahulu, perjuangan orang tua, dan kesetiaan para gembala yang sudah menanamkan benih iman. Dari masa lampau kita belajar bahwa Allah senantiasa setia dan tidak pernah meninggalkan umatNya.” Karena itu dia mengajak umat untuk bersyukur. “Setiap langkah kita adalah hasil dari buah rahmat Allah.”
Ketika menyinggung masa kini, dia menegaskan, inilah saat yang paling berharga. “Inilah altar hidup kita, tempat kita mempersembahkan segala sesuatu untuk Tuhan,” katanya dengan nada lembut tapi meyakinkan. “Inilah kesempatan kita mengubah luka menjadi pengampunan, kegagalan menjadi kekuatan, dan kesedihan menjadi pengharapan.”
Karena itu dia melihat masa depan Seminari dalam optimisme iman. “Masa depan Seminari itu misteri tapi bukan kekosongan. Itu adalah janji Allah yang selalu baru, ladang terbuka bagi benih kebaikan yang kita taburkan hari ini.” Kata-kata ini sederhana tapi peneguhannya kuat menembus kalbu.
Sambil mengutip Sabda Tuhan, “Aku menyertai kamu sampai akhir zaman” (Mt. 28:20), dia mengingatkan komunitas Seminari untuk mengangkah ke depan “bukan dalam ketakutan, melainkan dalam kepastian akan kasih dan penyertaan Tuhan.”
Dia meminta umat berkaca pada Bunda Maria yang teguh berdiri di bawah kaki salib. Bunda Maria taat dan menyerahkan diri secara total pada kehendak Tuhan. “Dalam Salib Kristus penderitaan dilihat dalam kaca mata yang baru,” tegasnya.
Ketulusan Lebih Mulia dari Harta
Teater Kata SMA Seminari pada acara resepsi usai Perayaan Ekaristi menyajikan pertunjukkan yang menghipnotis umat dan warga Berkhmawan yang memenuhi tenda besar. Para hadirin hanyut dalam sejumlah adegan yang mengangkat nilai-nilai kemanusiaan yang tersembunyi dalam pelayanan sehari-hari.
Ada adegan tentang pelayanan para imam yang total dalam keseharian yang rutin. Mereka meninggalkan keluarga, kesenangan, kebutuhan sendiri demi menyalakan panggilan. “Mereka bangun lebih pagi dari fajar, tidur lebih larut dari malam,” lantun Riko Loda dalam nada yang indah. “Mereka tidak menuntut balasan, sebab seluruh hidup mereka telah menjadi persembahan.”
Ketika berbicara tentang guru, para siswa itu menyentil ruang-ruang kelas sederhana yang menjadi saksi bisu pelayanan para guru yang tak pernah bosan “menanamkan kata menjadi doa”. Tunas Ratu dengan jeli melukiskan kegigihan pelayanan para insan pendidikan itu, katanya, “Papan tulis yang penuh coretan sesungguhnya adalah hati yang terus mengalirkan kasih,” meski, lanjutnya, “Gaji tak sepadan pengorbanan.” Dia mengkristalisasi nilai yang menjiwai pelayanan tanpa pamrih, katanya, “Sebab bagi mereka ketulusan lebih mulia dari harta.”
Adegan yang paling menyentuh adalah ketika anak-anak muda itu memperagakan pelayanan-pelayanan para karyawan di kebun, di bengkel kayu dan besi, para pemasak dapur, suster dan perawat di klinik kesehatan, para sopir, sebagai “denyut yang membuat Seminari kita bernyawa”.
Ketika menemani adegan para suster dan perawat, seorang siswa mengakui, di balik derap langkah dan hilir-mudik keseharian para seminaris, “Ada sosok-sosok yang berjalan dalam hening, membawa senyuman sebagai obat pertama”. Katanya lagi, “setiap hari mereka hadir menyambut luka dengan kelembutan dan kesabaran, melayani setiap seminaris seakan anak sendiri”.
Para sopir dilakoni seorang siswa yang duduk menghadap penonton dengan sebuah roda kecil di tangan. “Di balik bunyi lonceng yang terus memanggil seminaris,” kata Adrian Weko, “ada roda yang terus berputar. Bertahun-tahun mereka duduk di balik kemudi mengantar seminaris ke medan petualangan, menemani imam ke desa-desa terpencil dan menaruh harapan di jalan berdebu dan berbatu.”
Di sini, banyak orang meneteskan air mata. Pelayanan sederhana seorang sopir diteropong dalam sebuah nilai yang besar. “Dalam diam di hadapan Tuhan, setir telah menjelma menjadi salib kecil, sederhana, namun kokoh menuntun banyak jiwa,” daras Adrian lagi. “Tersentuh sekali. Seumur-umur saya bekerja di Seminari, baru kali ini saya benar-benar diangkat di atas panggung,” tutur Karno, sopir Seminari dengan haru.
“Di rumah ini, panggilan terukir bukan hanya dalam doa dan belajar, melainkan dari dapur yang senantiasa berasap,” kata seorang siswa mengantar adegan karyawati yang bekerja di dapur. Dia berkisah mengenai para karyawati yang dalam diam mengatur makanan bagi ratusan seminaris, memastikan pembagian seimbang, agar semua mendapat bagian. “Dari nasi dan sayur yang dibagi rata, mereka sedang merawat keadilan dari aksi yang kecil. Api yang menyala di tungku adalah lilin doa, asap yang mengepul adalah dupa sederhana”. Sunyi membalut seluruh tenda. Hati serta merta terbuka merasakan nilai-nilai kemanusiaan yang terawat dalam keseharian yang sederhana.
Pertunjukkan yang berlangsung lebih dari satu jam tidak terasa. Akhir pertunjukkan panjang itu menggambarkan perjuangan seminaris yang mendaki panggilan. Jatuh bangun. Sudah naik beberapa tangga, terperosok lagi ke dasar. Terus mencoba lagi, dan lagi, bersama berbagai tangan sampai bisa melambaikan bendera panggilan di puncak. Sebuah kegigihan. Sebuah orkestrasi. Sebuah optimisme!
Lagu-lagu yang dibawakan Berkhmawan Band, makan siang setelahnya, monolog indah seorang siswa, dan tarian penuh sukacita dalam acara bebas menjadi ledakan syukur yang amat membekas (Nani Songkares).