
Laporan Perjalanan Rm. Nani (49)
Pada era 1950-an sekelompok pertapa Buddha di Thailand ditugasi untuk memindahkan patung Buddha dari tanah liat. Patung itu dibiarkan begitu saja di tempat terbuka dan tidak dihiraukan karena dianggap tidak terlalu penting.
Saat patung itu diangkat untuk dipindahkan, tali putus. Patung terjatuh. Tanah liat retak. Melalui salah satu retakan tanah liat, seorang pertapa melihat ke dalam. Dia terkejut, ada kilauan kuning keemasan dari dalam patung.
Dia memahat tanah liat yang membungkus patung itu. Setelah bagian luar dikupas dan dibersihkan, muncul sebuah patung emas murni dengan tinggi 3 meter dan berat 5.5 ton.
Ternyata lebih dari dua ratus tahun silam, patung emas itu dilaburi tanah liat tebal oleh penghuni sebuah biara untuk menghindari perampasan yang dilakukan para tentara Birma. Sayang sekali, semua penduduk di daerah itu dimusnahkan, sehingga tak satu pun mengetahui rahasia patung itu.
“Kisah nyata ini menjadi perlambang besar pencarian diri kita. Jauh di kedalaman kita, di dalam otentisitas diri kita, ada emas murni,” kata Samy Soosai suatu ketika.
Kisah ini diulangi lagi oleh Jerome Montesclaros, SVD, misionaris Filipina, pengajar filsafat pada Universitas San Carlos, Cebu, Filipina. Baginya, kisah ini menggambarkan perjalanan dirinya.
“Saya datang dengan perasaan terbebani. Beban pekerjaan saya besar. Saya ingin pensiun,” katanya. Pikiran ini terus menghantuinya sampai paruh pertama Program Tersiat ini.
Namun, ketika dia terus berproses, dan terutama Ketika mengikuti retret satu minggu dengan keheningan total, dia diajak masuk ke dalam diri sendiri.
“Saya tidak ingin mengisahkan hal-hal detil mengenai proses yang saya lakukan, tapi saya berdiri di sini untuk memberikan kesaksian, bahwa saya amat berharga, bahwa kehadiran saya adalah misi itu sendiri bagi orang lain. Ini indah sekali. Karena itu, mengakhiri program ini, saya dipenuhi semangat baru. Ada energi baru yang saya rasakan, dalam tubuh saya, dalam jiwa saya. Ya, saya pulang ke tempat yang sama, bukan untuk retired (pensiun), tapi untuk retyre (mengganti ban baru), dan siap berjalan,” ungkapnya.

Ada banyak pengalaman serupa yang dirasakan peserta. Semua merasakan, pada transisi usia tengahan ini, betapa pentingnya “Being over doing – kualitas kehadiran, keberadaan lebih dari apa yang dilakukan,” kata Felix Noel Dacquel, misionaris Filipina lainnya.
“Many times we are very good at doing but not at being. Remember, Jesus is the Redeemer, not us. We are only collaborators. Time should be given first to Him – Banyak kali kita bagus sekali dalam beraksi, tapi bukan dalam berkehadiran. Ingat, Penebus itu Yesus. Kita hanyalah pekerjaNya. Waktu harus pertama diberikan kepadaNya,” tegas Thomas Heck, saat memberikan input hari ke-3.
Ego dan Intuisi
Thomas memberikan satu dua langkah praktis berdoa dalam keheningan, tanpa kata, kontemplasi. “Dalam keadaan rileks, sadari masuk keluar pernapasan. Ucapkan ‘Engkau dalam aku’ saat menarik napas dan ‘aku dalam Engkau’ saat menghembuskan napas. Nanti akan mengalami rest, istirahat,” jelasnya.
Saya sudah coba melakukannya sehari sebelumnya. Saya rindu sekali disentuh. Saya masuk dalam pernapasan, dan membiarkan diri rileks, di depan Sakramen Mahakudus.
Setelah cukup lama menanti, tiba-tiba dalam imajinasi Yesus datang. TanganNya ditumpangkan di kepalaKu, dan Dia memberkati.
Saya berada di momen itu sejenak. Terkesima. Tanpa kata. Bahagia. Damai. Tiba-tiba seseorang datang, duduk di belakang saya, menggeser kursi dengan keras. Lalu bunyi derik manik-manik Rosario terasa keras. Saya terganggu.
Dalam percakapan pribadi, Thomas mengatakan, “Trust that experience. That’s a gift. Stay there – Percayalah pengalaman itu. Itu pemberian. Tinggal di situ.”
Lalu Ketika saya bercerita tentang bunyi kursi dan derik manik-manik Rosario, dia tertawa. “Saya senang kau alami itu. Selalu ada gangguan yang membuat kita kembali ke model kerohanian kita yang lama. Kita senang beraksi, bukan berkehadiran. Melalui kata-kata, kita lebih banyak doing daripada being.”
Hari ketiga, saya coba lagi melakukan kontemplasi di depan Sakramen Mahakudus. Kurang lebih 45 menit. Saya sepenuhnya terganggu. “Harap diingat, dalam kontemplasi kita juga mengalami the absence of God – ketidakhadiran Tuhan. Tuhan tidak bisa kita genggam.Tuhan di luar kontrol kita.” Thomas pernah mengingatkan demikian, suatu waktu.
Saya naik ke lantai paling atas, tempat laundry. Saya mencuci pakaian, lalu kembali ke kamar, menyendiri. Tiba-tiba ada dorongan dari dalam diri yang kuat, yang minta agar saya ke hutan.
Hutan di sekitar kompleks Centro Ad Gentes indah sekali. Pohon-pohon lurus menjulang tinggi. Sudah tumbuh berpuluh-puluh tahun. Burung-burung bersarang di dahan-dahannya. Kicauannya beraneka.

Di sebuah bangku semen saya duduk seorang diri. Saya mengalami lagi keheningan yang indahnya tak terlukiskan. Batin saya penuh kehangatan. Saya merasa diteguhkan.
Dalam percakapan pribadi, Thomas menjelaskan, imperatif batin yang saya alami untuk pergi ke hutan adalah intuisi yang keluar dari kedalaman diri.
“Ini pengalaman yang mengajarkan sesuatu. Tuhan bisa ditemukan di luar struktur ciptaan manusia. Dia bebas menyapa kita, termasuk di tengah alam,” jelasnya. “Intuisi bisa menuntun kita,” tambahnya. “Karena itu pada transisi usia tengahan, penting sekali kita peka mendengarkan intuisi. Tuhan berbicara kepada kita, membimbing kita melalui intuisi.”
Karena itu, jelas Thomas, ada saatnya kita perlu membedakan suara ego dan suara intuisi.
Suara ego itu besar. Ingin didengar. Ingin berkuasa, ingin mengendalikan, ingin mempertunjukkan, minta diakui.
Di baliknya, bergema ketakutan-ketakutan. Takut karena merasa tidak cukup baik, tidak pantas dicintai, tidak cukup berbakat, tidak bisa mempercayai orang. Masih banyak lagi ketakutan yang berkembang menjadi limiting beliefs.
Intuisi biasanya lebih halus. Dia bisa datang tiba-tiba, dan bisa cepat menghilang. Intuisi meninggalkan perasaan yang kuat bahwa sesuatu itu benar.
Ego sering berbicara kepada kita melalui pikiran dan perasaan-perasaan negatif. Sementara intuisi sesuatu yang positif.
Ego sering memaksa, dan membuat diri kita tidak tenang. Intuisi membuat kita damai, karena sering mengungkapkan aspirasi dari sesuatu yang paling dalam dari diri kita, otentisitas kita. Intuisi menumbuhkembangkan hakekat diri kita.
Slowing down, mindfulness, berdoa dengan mengutamakan presence, keberhadiran, dan bukan hanya doing, termasuk aksi lewat kata-kata, sangat membantu mempertajam kepekaan kita terhadap intuisi.
Ketajaman kepekaan kita terhadap suara intuisi membantu kita untuk melakukan discernment, yakni keterampilan membeda-bedakan roh. Intuisi membimbing kita bersentuhan dengan kedalaman diri kita, kapasitas-kapasitas hakekat diri kita yang bening, harta karun batin, emas.
Namun untuk itu, kita perlu belajar mengakrabi diri dengan keheningan.
Orang Roma benar, hening itu emas – Silentium est aureum.